Aku takan kembali

By Sekar Setyaningrum - Februari 26, 2015

"Hai! Apakah kau baik-baik saja?"

"Sepertinya kamu tak perlu bertanya. Siapa yang baik-baik saja ketika ditinggalkan seseorang? No good in good bye."

"Apakah ... Jika kau ingin aku kembali, maka..."

"Tunggu, Tuan. Aku tak ingin lagi mendengar kalimat itu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti aku bisa dengan mudah kembali kepadamu."

"Well. Aku tahu kau bahkan sudah melupakanku."

"Apakah ada yang salah dengan hal itu? Kau meninggalkanku, kemudian aku melupakanmu. Jelaskan padaku bagian mana yang bisa ku persalahkan?"

"Aku akan segera menikah." Mata Danish berkaca-kaca. Danish tak pernah mengira, perempuan yang dulu bahkan pernah Ia ludahi, kini dengan mantap menatap jauh ke dalam matanya. Menusuk relung hati yang sebenarnya masih dia jaga. Relung hati yang (masih tetap) untuk Louisa.

Louis tersenyum. Tatap matanya sudah cukup menjelaskan.

Kemudian apa sebenarnya yang sedang ingin kau katakan padaku?

"Apakah kau tidak terluka?"

"Hai, Danish. Kau kira aku akan membiarkan hatiku terluka dua kali? Tidak."

"Kenapa kau begitu tenang? Sedangkan kemarin kau menangis sesegukan ketika ku tinggalkan."

"Aku bersyukur. Pertama, aku bersyukur karena pada akhirnya kau berani berkomitmen. Kedua, aku bersyukur karena aku bukanlah perempuan yang akan bersanding dengan lelaki sepertimu."

Louisa pergi. Pergi dengan kepingan hati Danish yang telah Ia bawa. Iya, malam itu Danish menyesal pernah meninggalkan Louisa untuk egonya.

Malam itu Danish terbangun dari mimpinya. Tiada sebuah penerimaan yang dia dapatkan seperti cara Louisa menerimanya. Danish membungkus penyesalanya lewat malam-malam panjang yang dia habiskan sendiri, lewat alkohol, lewat alunan musik keras diskotik, juga lewat tubuh seksi para gadis penghibur.

Apakah Danish cukup kuat melupakan Louisa? Tidak. Jawabanya akan tetap tidak.

Bukankah terkadang seseorang yang paling banyak kita sakiti adalah dia yang akan paling kita rindukan suatu saat nanti? Ya.

Satu hal yang tak pernah Danish ketahui. Malam itu, ketika Louisa pergi. Louisa menangis, dia sembunyikan isak dibalik punggungnya. Louisa masih memiliki perasaan yang sama.

Dia tak bisa memlilih untuk tidak tersakiti dulu. Tapi tidak saat ini. Masa depan adalah pilihan.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar