Jika aku bisa berbisik pada sang bayu, andai aku bisa menyingkap tabir kebisuanku. Sayang hanya kepada pekat malam mampu ku ungkapkan. Hari itu hari kesekian aku tak bisa bertemu denganmu. Hari-hari penuh penantian. Sedikit saja pedulimu akan sangat berarti untuku, bahkan siang itu saat kulihat kerabat datang menjenguk. Taukah kamu apa harapanku?? Yang ku harapkan adalah kau ada diantara mereka. Namun harapan itu hanya kian mengambangkan asa. Iya, kau tiada disana. Getir saat ku tatap wajah mereka satu persatu, saat wajahmu tak ku temukan, saat suaramu tak kunjung ku dengar. Lalu masih bisakah sang hati ini menjadi bijaksana,sementara aku hanya melihat sesuatu yang bahkan tak pernah mau memandang ke arahku. Konyol bukan? Betapa cinta telah membutakan garis bernama logika. Aku sadar sejak awal kau selalu ada diantara ribuan rasa yang kupunya, aku bahkan tiada diasana. Namun entahlah mengenangmu menjadi hal paling menyenangkan bagiku. Apalagi saat dimana aku membayangkan kau tersenyum manis untuku. Aih senangnya. Dan lagi kau selalu menjadi sosok paling rahasia bagiku. Sejak awal kedekatanku denganmu tak pernah kau ceritakan urusan gadismu. Aku selalu berharap kau mau memberiku celah untuk bisa mengetahui hal itu. Tapi nihil. Ah berhak apa aku akan hal itu, sedang aku tak lebih dari sekedar rekan kerjamu. Lebih dari itu aku selalu mengharap sapamu setiap kita bertemu meski sapaan itu juga yang kau lontarkan untuk sahabat-sahabatmu. Betapa naif rasa yang ku miliki untukmu.
Ingin rasanya aku bertanya pada mereka, mengapa engkau enggan menyapaku, mengapa kau tak bersama mereka saat itu. Namun yang tercipta hanya bisu yang kian mengharu. Hanya diam yang masih juga enggan memberi tahu yang sebenarnya. Bahkan diantara semua puisi atau kalimat ungkapan
hatiku namamu belun juga ku terangkan disana. Aku masih malu, masih ingin menjadi rahasia. Meski terkadang sakit batin mengoyak luka. Apalah nama cita dalam hening ini. Hanya hening dan masih saja hening....
Kulihat hujan gantikan mendungku Diantara kerap gerimis yang basahi asaku
Aku terus berjalan dalam ruang khayalku
Kulukis wajahmu dalam dinding hatii Lewat kesunyian tiada bertepii
Airmata ini, Kerinduan ini, Mengalir lembut lewat alunan doaku
Setiap hembusan nafas, setiap detak dalam nadiku, ia sebutkan namamu
Aku hening dalam kebisuan cintaku Sampai kapan ku harus menantimu?? Sampai kapan kan kau siksa aku dg rindu?? Kau tahu?? Aku bahkan rela menjadi malam dengan pekat menyelubungiku
Agar engkau tetap menjadi kejoraku
Aku lemah dalam peluknmu
Aku terlena dengan cinta yang kupunya Bukankah aku juga berhak atasnya??? Lalu kenapa waktu tak kunjung membuat kita satu
Disini kutepiskan bayangmu lewat sibuku
Namun aku gagal
Karena engkau hadir slalu dalam anganku
Memaksaku untuk terus merindumu Nafasmu, Detak jantungmu, Wangimu, Dan semua tentangmu Melukiskan jejak bisu kenangan kita
Telah kucoba menarik anganku Membiarkanya menari kemudian pelahan kusentuh.
Semu... itu tak lebih dari sekedar bayangmu
Lalu kutepis anganku dan mulai menghidupkan bayangmu, Namun itu hanya membuatku semakin merindu
Ku abadikan nyata kenangan kita dalam tempat bernama jarak
Kusimpan rapat hatiku dalam penantianku untukmu
Kan Kujaga slalu melodi* mimpiku Percayalah aku pasti terjaga
Hanya satu kupinta
Jangan kau biarkan harapan ini semakin hampa....
Malam merayap pelahan, membungkus setiap rasa sakit ditubuhku. Dan saat sinar sang mentari mulai menari menyambut pagi, saat aku harus memulai segala sesuatu dengan yang baru, saat itulah kembali harus ku teteskan air mataku untukmu. Aku sudah letih terus membungkam rasa ini. Seandainya aku bisa mengatakan pada semesta apa yang sebenarnya terjadi pada hatiku. Seandainya aku bisa menumpahkan segala rasaku padamu. Mungkin hatiku tak akan seperih ini. Namun bukankah wanita selalu dinilai tabu untuk melakukan semua itu?? Untuk mengatakanya lebih dulu. Ah omong kosong, kenapa wanita harus selalu memperlakukan dirinya seperti itu? Mengapa harus selalu wanita yang menunggu? Bukankah mencintai dan dicintai itu hak setiap orang?. Ah entahlah. Aku masih saja beku dalam lamunanku, menatap kosong hamparan runput hijau halaman rumah sakit. Sebelum sebuah suara membuyarkan lamunanku. Dokter muda itu mengatakan sesuatu kepada ayahku. Hanya beberapa hal mampu ku tangkap dari obrolan itu. "Aku baik-baik saja, hanya perlu waktu beristirahat dirumah."
Berapa lamakah waktu itu?? Seminggu? Dua minggu? Atau atau bahkan sebulan? . Oh dasar bodoh pemikiranku, kenapa aku justru memikirkanmu?. Memikirkan berapa lama mungkin aku tak bisa bertemu denganmu, berapa lama aku mungkin tak bisa menatap wajahmu, berapa lama aku tak bisa melihat sorot mata itu masih banyak seberapa lama yang lain.
Aku mungkin bisa berdamai dengan masa yang telah menyalahiku namun sungguh aku tak pernah bisa berdamai dengan segala kecamuk batinku.
Malam merayap pelahan, membungkus setiap rasa sakit ditubuhku. Dan saat sinar sang mentari mulai menari menyambut pagi, saat aku harus memulai segala sesuatu dengan yang baru, saat itulah kembali harus ku teteskan air mataku untukmu. Aku sudah letih terus membungkam rasa ini. Seandainya aku bisa mengatakan pada semesta apa yang sebenarnya terjadi pada hatiku. Seandainya aku bisa menumpahkan segala rasaku padamu. Mungkin hatiku tak akan seperih ini. Namun bukankah wanita selalu dinilai tabu untuk melakukan semua itu?? Untuk mengatakanya lebih dulu. Ah omong kosong, kenapa wanita harus selalu memperlakukan dirinya seperti itu? Mengapa harus selalu wanita yang menunggu? Bukankah mencintai dan dicintai itu hak setiap orang?. Ah entahlah. Aku masih saja beku dalam lamunanku, menatap kosong hamparan runput hijau halaman rumah sakit. Sebelum sebuah suara membuyarkan lamunanku. Dokter muda itu mengatakan sesuatu kepada ayahku. Hanya beberapa hal mampu ku tangkap dari obrolan itu. "Aku baik-baik saja, hanya perlu waktu beristirahat dirumah."
Berapa lamakah waktu itu?? Seminggu? Dua minggu? Atau atau bahkan sebulan? . Oh dasar bodoh pemikiranku, kenapa aku justru memikirkanmu?. Memikirkan berapa lama mungkin aku tak bisa bertemu denganmu, berapa lama aku mungkin tak bisa menatap wajahmu, berapa lama aku tak bisa melihat sorot mata itu masih banyak seberapa lama yang lain.
Aku mungkin bisa berdamai dengan masa yang telah menyalahiku namun sungguh aku tak pernah bisa berdamai dengan segala kecamuk batinku.
Hanya saja kamu tak pernah mau mendengar. Semua tentangmu aku tahu dan itu tiada penting bagiku. Yang ku inginkan saat itu hanya ingin tahu, sudah adakah gadis beruntung yang telah memilikimu? Siapakah dia?? Dan pantaskah pertanyaan itu ada dalam benaku? Sedang harusnya aku tahu diri, jangankan berarti kamu menganggapku ada itu sudah lebih dari bahagia. Pertanyaan konyol yang harusnya tak pernah ku pikirkan. Hhhh Sore itu ketika bayanganmu tak juga mau pergi dari pelupuk mataku, saat suaramu menjadi begitu jelas terdengar oleh telingaku saat itu senja kembali menjadi saksi. Sebuah kecelakaan yang hingga kini masih jelas dalam ingatanku. Ketika tiba-tiba aku berada di sebuah tempat asing. Matikah?? Aku tak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Hanya ada perasaan takut yang begitu besar menyergapku seketika. Semuanya gelap, aku bahkan tak mengingat apapun termasuk diriku sendiri.begitu banyak orang asing dan perasaan asing disekitarku. Aku sungguh tak mengerti. Kudengar sebuah suara yang sangat ku kenal tiba-tiba. Namun memoriku tak cukup kuat untuk mengingatnya. "Bertahan nak" suara itu samar-samar ku dengar di telingaku. Namun demi Tuhan aku tak berhasil merangkai satu puzzle pun untuk ku ingat. Dan itulah kali pertama sejak perkenalan kita, kau benar-benar menghilang dari ingatanku. Hingga saat semua ingatanku menjelaskan semuanya, tahukah kamu apa jawaban dalam memoriku saat seorang dokter bertanya kepadaku "apa yang paling kamu ingat sebelum kamu terbaring disini?"
Kamu tahu apa perintah yang diberikan otaku untuk menjawab pertanyaan itu? Yang aku ingat bagian terakhir dari kesadaranku adalah saat aku bersamamu, masih diruang kerja. Dan sayang perintah itu masih saja tak terbahasakan oleh kalimat apapun. Aku hanya diam masih mencoba mengingat setiap bahian dari kejadian itu. Dan malam itu aku gagal.
Malam itu hening membungkus kelabu langit malam. Desau angin brrhembus pelahan menambah sendu suasana hatiku. Aku tersenyum, ada kemenangan disana. Aku berhasil sejenak melupakanmu. Meski sakit menghujam tubuhku, namun jika demi satu kejujuran maka akan ku katakan jika ini tak lebih sakit dari bungkam rasa yang kumiliki untukmu.
Sang waktu masih saja enggan bicara mengapa sore itu menjadi begitu berwarna.
Aku masih mengingat setiap bagian dari percakapan pertama kita. Bukan, bukan percakapan pertama tapi obrolan berkesan pertama kita. Itulah pertama kali aku melihatmu tertawa begitu lepas. Akupun tertawa tapi taukah kamu jika aku tertawa bukan hanya karena aku mendengar ceritamu? Aku benar-benar bahagia melihatmu seperti itu. Ingin rasanya aku menyentuh wajah itu, mengingatnya lekat-lekat kemudian melukisnya didinding kamarku. Agar setiap waktu bisa kulihat wajah itu. Aku menulis ini ketika sang gerimis kesukaanmu menari lincah memercikan air ke bumi. "Gerimis itu menenangkan" katamu waktu itu. Sejak itulah aku juga menyukai gerimis. Berbeda denganmu yang mungkin hanya menyukai gerimis dari tenangnya namun aku suka berjalan diantaranya, bermain bahkan bercengkrama denganya. Lagu-lagu cinta yang mengalun lembut tak henti memaksaku untuk terus mengingatmu. Engkau telah menyita sebagian besar memoriku sejak awal perkenalan kita itu. Bahkan ketika kalimat demi kalimat ini ku mainkan dengan jemariku namamu begitu lantang menggema di sudut hatiku. Sebuah nama yang setahun terakhir telah menjadi bagian dari tawa dan tangisku. Kamu, iya kamu ! Tak ada yang istimewa darimu. Entah apa yang membuatku mengagumimu begitu besar, satu yang kutahu hanya perasaan itu yang kian menyesakanku. Suka kah? Jatuh cinta kah?? Aku tak pernah jatuh cinta secepat ini. Hanya perlu beberapa saat menatapmu kemudian aku Jatuh dibatas rasa yang seharusnya ku jaga. "maafkan aku" hanya kalimat itu bersenandung lirih dalam hatiku. Diam itulah bahasa cintaku untukmu, dan tulisan-tulisan inilah bukti nyata perasaanku. Aku tak bisa berbuat apapun saat itu. Membungkam rasa yang kian nyata adalah hal yang terus kucoba.
Aku tahu setiap orang punya cara untuk mencintai dan heninglah caraku mencintaimu.
Satu bulan berlalu namun tiada yang berubah diantara aku dan kamu. Masih sebatas ini, masih hanya sejauh ini hanya saja perasaanku kini kian menggebu. Tak ada yang salah dengan perasaanku bukan? Apapun itu.
Lalu kenapa seolah rasa ini seperti kian menghimpitku? Menyesakan, menyakitkan itulah yang ku rasakan. Andai kamu tahu betapa berat peran yang ku ambil pada saat itu. Hhh
Engkaulah senjaku.
Engkaulah kilau dibatas cakrawala. Mengagumkan.
Entah bagaimana caranya sang waktu membuat jingga itu kian membiru, membuat pertemuan tak terduga itu menjadi semakin berarti.
Taukah engkau? Sejak perkenalanku denganmu sore itu, kadang tanpa disadari bibir ini bercerita tentangmu, menertawakanmu, bahkan membicarakan kebiasaan-kebiasaan anehmu. Tak peduli dengan siapa aku berbicara.
Selalu ada sesuatu yang membuatku ingin menyebut namamu, ingin mengingatmu. Ah sial !! Akupun bahkan tak tau pasti perasaan apakah itu. Hanya ada sesuatu yang menggebu, sesuatu yang membuatku ingin terus melihat senyumu dan mendengar tawamu. Satu hal yang tak pernah aku bisa lakukan adalah menatap teduh matamu.
Ah andai saja engkau tahu betapa rumit perasaan yang kumiliki untukmu. Sayang kamu tak bisa membaca maksud perasaanku.
Aku hanya bisa mencintaimu lewat lembut tatap mataku untukmu, lewat bisik desah nafasku dan lewat kalimat tak terbahasakan untukmu.
Hanya itu, memang hanya itu yang bisa kulakukan. Kadang aku meyakinkan diriku sendiri jika mencintaimu akan hanya membuat kubangan luka dihatiku. Namun egoisnya hatipun kalahkan logisku. Aku hanya berharap akan ada masa kau menggenggam lembut jemariku, sejenak memainkanya dan lewat tatap matamu kau bisikan jika kau mencintaiku. Bukankah harapan itu pantas ada? Bukankah hidup ini hanya sebuah rentetan cerita yang penuh rahasia?
Duhai Senja. Betapa rumitnya hariku saat itu. Setiap pagi berkali memutar badan didepan cermin memastikan penampilanku baik dimatamu. Bahkan berangkat kerja sepagi mungkin agar bisa melihatmu lebih cepat dan tidur lebih malam agar bisa melukis bayangmu di dinding kamarku. Menuliskan puisi-puisi cinta untukmu menjadi kebiasaanku sejak kau mulai menjadi alasan disetiap senyumku.
Heii kamu !!. Namamu kusebut dalam doa disetiap usai ibadahku. Hanya kamu. Dan benar bukan senja itulah kamu, desah angin malam itulah pembawa setia kerinduanku untukmu.