Cinta Pertama (Part II)

By Sekar Setyaningrum - November 06, 2015

(Lagu yang sudah sejak lama tak pernah ingin kudengarkan lagi. Cobalah kalian menbaca ini sambil mendengarnya. Sunny oleh Bunga Citra Lestari)


Ini masih ceritaku tentangnya, tentang seseorang yang kusebut cinta pertamaku.
Sudah lama sekali ingin menuliskan semua ini di sini. Namun aku terlalu pengecut untuk sekali saja mengingatnya dengan sungguh-sungguh. Aku sungguh takut melukai seseorang yang mungkin saat ini sedang menemaniku. Terlepas dari itu, ini tak akan pernah mengubah apapun yang telah terjadi. Dia adalah masa yang telah berlalu. Aku hanya bosan menyimpan cerita ini sendirian. Aku ingin membaginya kepada kalian. Semoga kalian tak merasa bosan saat membacanya.

Semalam Ia hadir kembali dalam mimpiku. Ia masih tampan sama seperti dulu. Ia masih sama. Tak ada yang berubah darinya. Ini bukan pertanda apapun, aku tahu. Aku kembali memikirkannya saat aku menonton drama korea baru-baru ini. Sebenarnya tak ada yang benar-benar mirip dengannya, hanya saja entah mengapa salah satu karakternya selalu saja berhasil membuatku mengingat setiap bagian darinya.

Seperti yang selalu aku katakan pada kalian. Pertemuan adalah sebuah hutang yang harus dibayar lunas dengan sebuah perpisahan. Tanpa terkecuali. Termasuk perjumpaan kami. Ya. Kami menemukan titik di mana itu bukan hanya sekedar jeda. Kami harus segera menjemput mimpi kami masing-masing. Melangkah ke arah yang berbeda untuk menjemput masa depan kami.

Sore itu, Sembilan tahun silam. Dia mengajakku menghabiskan senja menyusuri romantisnya kota Yogyakarta. Dia berisik sepanjang perjalanan. Dia menyanyikan lagu-lagu kesukaanku. Dia bilang, ingin sekali dia mendengarku membawakan sebuah acara di radio kembali. Dia bilang, aku sangat pandai memainkan perasaan siapapun yang mendengar atau membaca ceritaku. Ah, rasanya itu baru saja terjadi kemaren. Dan sekarang masa itu sudah berlalu Sembilan tahun lamanya.

Aku masih ingat. Ia mengenakan kaus putih dengan gitar yang tak pernah absen menemaninya kemanapun Ia pergi. Hari itu, aku teramat bahagia hingga aku lupa bagaimana dulu aku sangat membencinya. Aku bahagia, sangat bahagia.

Dia bilang, Yogya adalah kota di mana kisah kami bermula. Ketika kami berjanji untuk saling menemukan kembali suatu hari nanti, saat waktu benar-benar mengijinkan jemari kami untuk saling menggenggam.  Sayangnya, waktu yang kami nanti tak pernah kembali. Aku akan menceritakannya pada kalian nanti.

Hubungan kami memang sangat lucu. Aku bahkan lupa menghitung berapa banyak jumlah gadis yang telah dia kencani. Namun entah mengapa aku begitu yakin jika akulah satu-satunya yang dia kasihi. Entahlah, perasaan macam apa yang sebenarnya kami miliki. Kami hanya ingin terus saling menjaga, saling berbagi tawa dan cerita. Aku hanya ingin terus melihatnya tertawa. Hanya itu saja dan kami merasa sangat bahagia,

“Tetaplah jadi gadis tomboy yang periang. Jangan pernah bersedih. Aku masih di sini.” Katanya waktu itu,

Kami mendaki puncak seusai ritual perpisahan di sekolah kami. Kami meneriakkan nama satu sama lain, berjanji untuk tidak saling melupakan dan ikrar untuk sebuah pertemuan. Kami berjanji untuk bertemu kembali di tempat itu tiga tahun kemudian. Hari itu, aku menatapnya dari kejauhan, kami saling mengucapkan kalimat perpisahan. 

Aku merindukannya setiap hari sejak hari itu. Kami disibukkan dengan pendaftaran sekolah dan semua agenda kami sebagai siswa baru. Beasiswa yang kuterima membuatku tak bisa membuang kesempatan untuk bisa melanjutkan sekolahku di sekolah bergengsi. Dia bahkan tak pernah menyalahkanku atas itu. Dia selalu menjadi lelaki kedua setelah ayahku yang akan mendukung setiap keputusanku.

“Raih mimpimu. Tak peduli jika pada akhirnya beasiswa sialan itu membuatku tak bisa satu sekolah lagi denganmu.”

Aku tahu ada luka dalam binar matanya. Bahkan jika aku boleh berkata jujur kali ini, maka hal terberat bagiku adalah berada jauh darinya. Aku tumbuh dan menghabiskan waktuku bersamanya. Semua orang tahu anak laki-laki macam apa dia, namun tak ada satupun yang melarangku berdekatan dengannya. Dia tak akan berani menyakitiku. Tak akan pernah.

Sejak hari itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Aku sangat merindukannya. Aku sangat ingin duduk di sampingnya dan bercerita tentang betapa menyebalkannya harus menyesuaikan diri dalam lingkungan sekelompok kutu buku.

Aku tahu dia akan menertawakanku. Aku tahu dia akan mencubit lenganku dan mengatakkan betapa sebalnya selama ini dia menghabiskan waktunya bersama seorang kutu buku sepertiku. Dan ketika aku menoleh, aku tak menemukan siapapun di sampingku. Hanya ada aku di kamar asrama itu.
Aku hanya merasa kosong. tak ada lagi yang menertawakan kebiasaan anehku. Tak ada lagi ekspresi menggelikan setiap kali aku menemukan satu ulat bulu. Aku bahkan tak bisa membolos bersamanya lagi. Bersembunyi di atas pohon jambu dan turun ketika jam pelajaran usai. Aku menjadi gadis super pendiam sejak saat itu. Aku tak bisa menemukan seorang temanpun yang bisa membuatku merasa lebih baik dari sekedar mengingatnya dalam bisu.

Aku merasa hidupku sangat monoton sejak kami berpisah,,,



(((Bersambung)))

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar