Gadis Senja

By Sekar Setyaningrum - November 20, 2015

Gadis Senja

Jakarta, Desember 2017

Erika memejamkan matanya. Kepedihan bertubi-tubi menghujam hatinya. Kopi buatan mamanya ia biarkan dingin dalam cangkirnya. Dua tahun sudah kejadian itu berlalu, namun hati Erika masih enggan beranjak. Ia masih berada di tempat itu. Tempat yang berada jauh ribuan kilometer dari tempatnya berada saat ini.

“Aku harus menikah, Rik. aku harus segera kembali untuk menikahinya. Kita jelas tahu ini semua akan terjadi.” Rio terlihat sangat frustasi. Tak mudah baginya meninggalkan Erika. Gadis yang telah banyak mengubah perasaannya dua tahun terakhir.

“Bukankah masih banyak cara untuk mengubahnya?” Erika menggenggam jemari Rio dalam remang cahaya senja. Cahaya dalam binar matanya meredup, ada perih yang tak terbahasakan.

Rio menggeleng tegas. Ia memeluk Erika erat, lebih erat lagi. “Seandainya aku bisa mengulang waktu, seandainya aku bertemu denganmu lebih dulu, Erika. Mungkin aku tak perlu melukai perasaanmu. Kau tahu? Untuk melepaskanmu, aku harus menghancurkan hatiku sendiri.”

Erika terisak. Dialog dua tahun yang lalu itu memaksanya untuk terus mengingat. Seperti sebuah adegan film yang tak pernah bosan ia putar.

Rio adalah separuh dari hidupnya. Rio adalah buku yang tak pernah bosan ia baca. Bagi Erika, Rio adalah lagu yang tak pernah bosan ia dengarkan. Lagi dan lagi.

“Erika..” Mama menggenggam lembut bahu Erika. Sesaat kemudian Erika seperti melewati lorong waktu yang membawanya kembali ke tempat dia berpijak saat ini. Ia menyeka air yang menggenang di ujung matanya.

Erika beranjak dari tempat duduknya kemudian mencium kening mamanya. “Erika ada seminar sore ini, Ma. Erika akan pulan terlambat.” Erika membuat sebuah lengkungan di bibirnya. Lesung pipinya menambah manis wajah bulat Erika.

Erika menghabiskan dua tahun terakhir di balik meja kerja dan deretan proyek menulisnya. Ya, bagi Erika menulis dan bekerja adalah pelarian terbaik untuk menenggelamkan bayangan dari separuh jiwanya yang telah pergi.

Erika telah berhasil menyelesaikan kuliahnya setahun yang lalu. Dia bekerja sebagai staff akunting di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Erika juga sudah menyelesaikan tiga novel dua tahun terakhir. Dan dua diantaranya termasuk dalam kategori best seller.

Erika melakukan banyak hal untuk melupakan kekasihnya. Ya, untuk melupakan. Bukan merelakan.

***

Banjarmasin, Desember 2017

Rio menatap lekat buku yang kini tengah ia pegang. Ia merasa sangat dekat dengan buku-buku karya seorang penulis dengan nama pena “Senja” itu. Setiap kalimat dalam bukunya selalu mengingatkan Rio pada seseorang di masa lalunya. Seseorang yang dengan segenap jiwa ia cintai.

Dulu, hampir setiap kali berkunjung ke toko buku Rio menanyakan hal yang sama kepada Erika. “Kapan bukumu ada di salah satu rak ini?” dan hari ini Rio merasa sangat bersalah tak bisa menemani gadis itu sampai pada titik itu. Rio sangat merindukannya.

“Apakah buku itu lagi-lagi mengingatkanmu pada seseorang?” Rania menatap lekat wajah Rio. Rio tak menjawab, namun bagi Rania diam kekasihnya adalah sebuah jawaban. Rania menggamit tangan Rio kemudian menariknya meninggalkan tempat itu.

“Berhentilah, Rio. Lihatlah aku yang kini ada di sampingmu sesekali. Berhentilah mengingat Erika!” Rania mempererat genggamannya di jemari Rio ketika sadar ia telah melakukan kesalahan terbesar. Menyebut nama gadis itu lagi.

Rio sangat terkejut. Sudah sangat lama rasanya tak ada lagi seorangpun yang berani menyebut nama itu di depannya. Dan saat ini Rania-lah yang melakukannya.

“Kau tahu kenapa aku memilihmu?” Kata Rio dengan nada suara yang ia tinggikan.

“Rio, maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud…”

“Karena uang yang kau berikan kepada orang tuaku, karena budimu yang tak pernah bisa kami balas, karena aku tak memiliki jalan lain untuk menolaknya.”

Rania memeluk erat tubuh lelaki yang teramat ia kasihi itu. Rania tak pernah mengira jika kalimatnya barusan akan membuat kekasihnya begitu marah.

Rio tak pernah benar-benar melepaskan Erika. Rio terus membiarkan Erika tetap menggenggam hatinya. mungkin untuk selamanya.

***

Banjarmasin, Desember 2015

Rio menggenggam erat tangan Erika. Rio tak pernah bosan mencium aroma parfum Erika. Dan bersama Erika, Rio menemukan hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta.

“Pernahkah terlintas dalam benakmu untuk memiliki sebuah keluarga denganku, Rik?”

Erika menatap wajah kekasihnya. Erika tahu itu bukan pertanyaan yang dengan mudah bisa keluar dari mulut Rio. Erika memaksakan sebuah senyuman. Tentu saja ia sangat ingin bisa menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan lelaki yang amat dikasihinya.

“Tentu saja. Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu? Apakah sesuatu sedang terjadi?”

Rio menatap Erika dan mempererat genggaman tangannya. “Bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu, Erika. Jika hanya dengan melihat wajahmu saja aku sudah cukup bahagia.”

Erika menenggelamkan wajahnya dalam dekapan Rio. Dua tahun yang mereka lalui bukanlah masa yang indah penuh cinta. Mereka melawan hal yang tidak seharusnya meleka lakukan. Berusaha berjuang untuk merubah akhir yang mereka yakini.

Seseorang telah dipilihkan kedua orang tua Rio untuk menemani sisa hidupnya. Bukan seseorang yang Rio cintai tentu saja. Bagi Rio, Erika adalah satu-satunya yang membuatnya bisa merasakan bahagia. Erika-lah alasan dari setiap senyum dan tawa di wajah tampannya.

“Berjuanglah bersamaku, Rio. Tetaplah disampingku.”

Jika Erika bisa melihat jauh ke dalam mata Rio, maka ia akan melihat sisa-sisa ketegaran di sana. Rio Nampak sudah sangat putus asa. Kedua orang tuanya memohon kepada Rio untuk meninggalkan Erika dan menikahi Rania, gadis pilihan mereka.

Tiga tahun yang lalu, saat keluarga Rio berada di ambang kehancuran. Keluarga Rania-lah yang mengulurkan tangannya untuk membantu keluarga Rio. Membantu mereka untuk merintis kembali bisnis baru mereka.
Sejak saat itu, Rania selalu ada. Rania selalu menjadi orang pertama yang mengulurkan tangannya saat Rio berada di titik terendahnya. Bahkan hari ini, saat ibunda Rio harus kembali menjalankan perawatan di rumah sakit.

Erika melakukan apapun untuk bisa membantu kekasihnya membayar tagihan rumah sakit. Erika bahkan mengambil semua tabungannya. Namun saat mereka tiba di rumah sakit. Lagi-lagi Rania menjadi orang pertama yang ada untuk keluarganya. Bukan Erika.

“Aku harus menikah, Rik. aku harus segera kembali untuk menikahinya. Kita jelas tahu ini semua akan terjadi.” Rio terlihat sangat frustasi. Tak mudah baginya meninggalkan Erika. Gadis yang telah banyak mengubah perasaannya dua tahun terakhir.

“Bukankah masih banyak cara untuk mengubahnya?” Erika menggenggam jemari Rio dalam remang cahaya senja. Cahaya dalam binar matanya meredup, ada perih yang tak terbahasakan.

Rio menggeleng tegas. Ia memeluk Erika erat, lebih erat lagi. “Seandainya aku bisa mengulang waktu, seandainya aku bertemu denganmu lebih dulu, Erika. Mungkin aku tak perlu melukai perasaanmu. Kau tahu? Untuk melepaskanmu, aku harus menghancurkan hatiku sendiri.”

Erika mengutuk dirinya sendiri. Tak ada satu kalimatpun yang bisa mewakili perasaanya. Hanya kepedihan, rasa sakit yang teramat menggantung dalam hatinya.

***

Banjarmasin, Januari 2018

Erika menghela napas panjang. Hari ini salah satu stasiun radio di kota Banjarmasin mengundangnya untuk melakukan book review novel terbaru Erika. Ini adalah kali pertama Erika mengijinkan dirinya sendiri mengisi sebuah acara secara langsung.

Biasanya Erika hanya akan membalas pertanyaan media dan pembaca melalui akun social medianya. Dan tentu saja sebagai “Senja”. Erika tak membiarkan siapapun mengetahui identitas aslinya.

“Sampai kapan, Nak? Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik nama itu?” Kata Mama malam itu membuat Erika sadar akan satu hal. Sudah saatnya ia kembali menatap dunia dengan segala keyakinan yang pernah ia miliki.

Menjadi penulis adalah impian terbesarnya. Dan sekarang Ia harus berani menjawab pertanyaan dunia akan siapa “Senja” yang sebenarnya.

Beberapa saat penyiar radio berbasa-basi kepada pendengar sebelum mengajukan pertanyaan kepada Erika.

“Senja. Bagaimana kau memilih nama itu sebagai nama penamu?”

Erika tersenyum. “Senja itu indah bukan? Senja adalah tempat di mana tatapan hangat seseorang akan berpulang. Tentang janji baru hari esok, tentang penantian. Ya begitulah.”

“Kemudian apa alasanmu menyembunyikan identitasmu kepada pembacamu?”

“Aku belum siap untuk menjadi terkenal.” Erika tertawa. Tawa yang ia paksakan.

Sementara di tempat lain. Di sebuah kamar yang pengap seseorang membesarkan volume radionya. Dia telah lama mengagumi novel karya gadis yang kini tengah mengisi acara di salah satu stasiun radio itu. Dan saat mendengarnya tertawa, Rio merasakan kakinya lemas. Rasa sakit seketika menghujam tepat di relung dadanya.

Rio sangat mengenal suara itu, tawa itu, juga setiap kalimat-kalimat itu. Rio tahu siapa yang sedang berbicara di sana.

“Cinta yang tergadai. Apa pesan yang bisa di ambil dari novel ini?” penyiar radio terus melanjutkan pertanyaannya, tak peduli hati seseorang tengah teriris mendengar suara gadis bernama pena “Senja” itu.

“Tentang cinta yang terbeli. Itu saja.” Entah  kenapa Erika tak bisa melanjutkan kalimatnya. Jauh dua tahun yang lalu seseorang telah membeli cintanya. Seseorang telah menggadaikan cintanya.

Erika mengakhiri acara hari itu dengan sangat manis. “Kau tak akan pernah bisa membeli cinta. Kau bisa memiliki raganya, menyandang statusnya, tapi tidak untuk menggenggam cintanya.”

Rio memacu langkahnya secepat yang ia bisa. Itu adalah stasiun radio terbesar di kota Banjarmasin. Rio bisa dengan mudah menemukannya. Bahkan jika kaki dan tubuhnya tak mampu lagi bergerak.

Rio menatap gedung penyiaran yang kini ada di depannya. Gadis yang sangat dia kasihi kini ada di sana. Erika.

“Erika..” Bisik Rio setengah tertahan. Kakinya lemas. Ia jatuh terduduk di halaman yang luas itu.

“Kau tak pernah berubah, Rio.” Rio tak berani mencari tahu sumber suara itu. Ia sudah terlalu sering berhalusinasi. Namun sentuhan lembut di bahunya menyadarkan Rio jika kini Erika benar-benar ada di dekatnya.   

Rio tergugu. “Aku tak pernah memberikan cintaku kepada siapapun selain dirimu. Tak pernah sekalipun.”

“Bertanggungjawablah untuk setiap keputusan yang telah kamu ambil. Kamu tak akan pernah bisa lari darinya.”

“Aku tak pernah mengambil keputusan apapun.”

Keduanya tenggelam dalam kebisuan. Hanya angin yang berani mendesis pelan menambah haru suasana sore yang basah itu.

“Aku salah dan kau benar, Erika.” Tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan.

Keduanya menoleh ke arah sumber suara.

“Kau benar, cinta Rio tak terbeli bahkan ketika tahun berganti. Aku tak pernah bisa membeli hatinya, Erika.” Rania menatap kosong hamparan rumput hijau di hadapannya. Air matanya sudah hampir luruh tak tertahankan. Ia merasakan pedih yang teramat saat matanya bertemu dengan mata sendu kekasihnya.

“Jika hanya di hatimu ia temukan kebahagiaannya, bagaimana mungkin aku menjadi begitu tega dengan membeli hidupnya?” Rania terisak. Mawar dalam genggamannya jatuh bersama air matanya.

“Aku mengagumimu, Erika. Mengagumi setiap tulisanmu, juga caramu mencintai Rio. Maafkan aku yang pernah berusaha menukar kebahagiaanmu dengan uang yang kumiliki.”

Rania meninggalkan mereka dengan kebisuan yang menggantung…………….

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih mana: Cinta atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar