Cinta Pertama (Part III-End)

By Sekar Setyaningrum - November 06, 2015

Menabur Bunga, menetes air di mata
Tahun berguguran, aku bersedih
Dingin hati terasa
Separuh jiwa ku mengapa, perih terbalut sepi
Melara ku sendiri….(Naff-Dia Tlah Pergi)

Lagu Naff yang satu ini menjadi teman sepiku beberapa hari terakhir. Ketika aku memutarnya lagi, sedetik kemudian aku mengingatnya kembali. Aku masih ingin melanjutkan ceritaku tentangnya. Menuliskan setiap debar perasaan yang lama kusimpan sendiri. Ya. Ini masih saja tentangnya. Cinta pertamaku.

Hujan turun begitu deras sore itu. Aku sangat rindu, rindu akan kampung halamanku. Aku juga merindukannya. Aku merasa waktu berhenti melaju ketika aku mengingatnya. Kerinduanku akan sosoknya tak bisa lagi kutahan.

Aku meminta ijin kepada pihak asrama keesokan harinya. Jika aku tak bisa berjumpa dengannya, paling tidak aku bisa melihat setiap tempat yang pernah kami kunjungi bersama. Ah, aku sungguh merindukannya.

Aku memainkan ujung kerudung hitamku. Pandanganku lurus menyusuri  setiap sudut kota kecil itu. Berharap akan melihat sesosok wajah yang amat kurindukan. Namun aku merasa begitu naïf ketika aku kembali pada sadarku. Aku tersenyum. Hari sudah gelap, mana mungkin dia masih berada di sekitar tempat itu.

Aku menundukan kepalaku, menelan setiap kecewa dan gundah yang kurasa. Aku ingin sekali bisa berjumpa dengannya. Bis yang membawaku terus melaju seakan sudah enggan menunggu. Gundahku memuncak ketika bis berhenti dan belum juga kutemukan sosoknya di sudut manapun.

“Kaukah itu?” Sebuah suara mengejutkanku. Aku sangat mengenal suara itu. Suara yang sangat aku rindukan.

Aku tak berani menoleh, aku takut jika itu bukan dia. Aku takut jika aku hanya berilusi. Namun itu sungguh dia. Dia merangkulku. Tersenyum tanpa beban kemudian tertawa.
Ah, Ya Tuhan. Akhirnya aku bisa berjumpa kembali dengannya, aku kembali mendengar tawanya, memukul lengannya.

Kami tak banyak bicara malam itu. Entah apa yang sedang terjadi dalam hati kami, kami justru lebih banyak terdiam. Menyimpan setiap pertanyaan yang seharusnya terlontarkan. Memendam setiap kerinduan juga cerita yang sudah ingin sekali kubagi dengannya terhenti di kerongkongan.

“Putra,” Kataku ketika hanya keheningan menyelimuti perjalanan kami. Dia menatapku. “Aku merindukanmu.” Aku sangat ingin menangis.

Dia tersenyum kemudian kembali merangkulku. Dia bilang, dia merindukanku setiap hari. Kami menyadari jika dunia kami jelas sudah berganti. Setiap detik yang kami lalui mungkin tak lagi sama dengan detik di mana yang kami tahu hanyalah bahagia.

“Kamu satu-satunya teman yang tak pernah pergi.” Aku melihat matanya berembun saat mengucapkan kalimat itu kepadaku. Banyak yang tak menyukai sikapnya, meski mereka juga mencintainya. Putra memang anak laki-laki yang kasar jika kalian tak benar-benar mengenalnya. Namun bagiku dia lebih dari itu. Dia bahkan bisa memperlakukanku lebih baik dari teman manapun yang pernah kutemui. Dia terbaik yang pernah ada dalam hidupku.

Di persimpangan jalan itu kami berpisah. Dia sempat meminta nomor ponselku, dia juga berjanji akan terus memberiku kabar. Aku sangat bahagia. Satu hal yang tak pernah kusadari adalah jika sore itulah terakhir kali aku bisa melihatnya, menyentuhnya, merasakan setiap helaan napasnya. Ya. Terakhir kali.

Kedua orang tuaku memutuskan untuk pindah. Dan aku, aku harus siap meninggalkan setiap kenangan yang terukir di kota dingin itu. Aku pergi jauh darinya. Jarak dan batas yang terbentang di antara kami kian nyata. Aku hanya bisa mendengar suaranya, mendengar setiap cerita-ceritanya. Menjadi sahabat yang siap mendengarkan dan mulai kembali menghitung berapa banyak gadis yang sudah dikencaninya.

Aku bersyukur kami masih bisa tetap saling menyapa. Dan dia masih sering menyanyikan lagu-lagu kesukaanku. Aku sering merekamnya diam-diam. Sayang tak ada satu rekamanpun tersisa. Aku terlalu pengecut hingga akhirnya aku menghapus semua memory tentang kami. Hadiah, surat, percakapan, log panggilan, foto dan semua tentangnya. Aku memang sangat pengecut.

Hari itu, tepat di hari ulang tahunku. Lagi-lagi aku meninggalkan ponselku. Aku tak tahu sudah berapa puluh kali dia menghubungiku, sudah berapa pesan singkat yang dia kirim untukku. Aku membacanya saat menjelang tidur. Aku berusaha menghubunginya kembali. Sayang, dia tak lagi menjawab panggilan dan semua pesanku sejak hari itu.

Dan seminggu kemudian, dia benar-benar menghilang. Ponselnya tak bisa lagi dihubungi. Aku berusaha menghubungi semua orang terdekatnya namun nihil. Tak ada yang tahu keberadaannya.
Aku mengingatnya lagi dan lagi. Aku mengingatnya setiap hari, setiap saat, setiap helaan napas. Aku mencintainya. Aku merindukannya.

Tiga bulan kulalui hariku tanpanya. Aku belum bisa menemukan apapun untuk bisa menghubunginya kembali. Dan di hari ulang tahunnya. Sebuah pesan singkat dari seorang sahabat mengejutkanku.

“Putra sakit. Sudah dua minggu koma. Do’akan dia.”

Aku tak tahu apa yang kurasakan. Aku hanya ingin menangis, aku hanya ingin berlari sejauh yang kubisa. Ingin sekali aku berada di sisinya. Membisikan kalimat-kalimat bahagia dan membawa kesadarannya kembali.

Kubenamkan setiap perih dan harapku dalam sujud-sujud panjang di dua pertiga malamku. Do’a terbaik untuknya. Untuk lelaki yang bahkan belum tahu jika aku mencintainya. Jika aku memiliki perasaan yang sama untuknya.

Seminggu kemudian, sebuah kabar bahagia datang. Dia tlah sadar dari komanya meski dia belum bisa mengingat apapun. Aku terlampau bahagia. Aku mencoba menghubungi keluarganya. Dia mau berbicara denganku. Ya. Aku berbicara dengan orang yang telah melupakan segalanya tentangku.

“Siapapun kamu, kamu pastilah orang yang paling dekat denganku. Terima kasih karna kamu peduli.”

Ya Tuhan. Serbuan rasa sakit seakan menghujam tepat di dadaku. Dia telah melupakanku, melupakan segala memori indah bersamaku. Apa yang terjadi padanya? Monster macam apa yang telah menghancurkan memorinya?

Aku terduduk, kakiku lemas, batinku sakit tiada terkira.

Kembalilah, Putra. Kembalilah!

Aku seperti sedang menghitung mundur waktu. Menghitung saat untuk menyerah. Kondisinya tak berubah, malah kian parah. Dia jatuh koma kembali seminggu kemudian. Dan siang itu kabar yang tak pernah ingin kudengar akhirnya sampai di telingaku.

Dia telah pergi.
Lelaki pertama yang selalu menemaniku. Sahabat terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Dia, cinta pertamaku.


Dia tlah pergi, tak mungkin kembali,
Dia tlah pergi,  pilukan hati
Dia tlah pergi, tak lagi di sisi
Dia tlah pergi, ke nirwana….(Naff-Dia Tlah Pergi)

Entah apa yang sedang terjadi padanya hingga dia nekat melakukan hal bodoh itu. Dia pergi atas maunya sendiri. Ya. Dialah yang mengakhiri.

Bagaimana mungkin dia sudah pergi? Jika hingga saat ini aku masih bisa melihat senyumnya, masih mendengar bias tawanya,  juga masih hapal aroma tubuhnya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan gadisnya ini melawan sepi sendiri? Bagaimana mungkin itu semua bisa terjadi?

Dia yang tak pernah ingin melihatku terluka justru adalah orang yang menggores luka terdalam di hatiku. Dia yang paling banyak tawarkan bahagia justru adalah dia yang tinggalkan sepi tak bertepi. 

Dan dia yang selalu ada untukku adalah dia yang memilih meninggalkanku lebih dulu.
Bagaimana jika seseorang melukaiku? Bagaimana jika akan ada banyak orang yang menyakitiku? Siapa yang akan berlari ke arahku kemudian membelaku? Siapa yang akan memberikan bahunya jika aku tak mampu untuk menangis? Siapa yang akan terus memahamiku ? Siapa yang akan membantuku mengingat saat aku melupakan sesuatu?

Hari ini, aku terdiam menatap pusaranya. Kubawakan mawar merah yang dulu sering dia beri untukku. Mawar merah yang dulu sering kutemukan di laci mejaku. Mawar merah kesukaanku. Aku datang dengan gerimis menyertaiku. Gerimis kesukaannya. Aroma basah favoritnya.

Air mataku luruh ke bumi. Enam tahun sudah sejak kepergiannya. Aku memang sangat pengecut. Baru hari ini aku bisa berjalan lurus mendatangi  tempat terakhirnya.

Putra telah pergi…

Dia telah pergi membawa separuh dari hatiku. Dia pergi tanpa pernah berpamitan denganku. Dia pergi sebelum mengetahui jika aku mencintainya.
Aku tak sanggup menahan pedih dalam hatiku. Sudah enam tahun, namun aku masih selemah ini menghadapi kenyataan.

Ririn mencengkeram erat pundakku. Aku bisa merasakan serbuan rasa luar biasa dalam hatiku. Aku sangat merindukannya.

“Putra merindukanmu setiap hari. Tak ada foto lain yang dia lihat setiap kali dia ke rumahku. Hanya fotomu. Foto kalian saat masih bersama. Dia tak bisa mencintai orang lain selain kamu. Kamu satu-satunya alasan dia tertawa. Kamu juga yang paling sering membuatnya menangis karena rindu.”

Bibirku kelu. Ingin rasanya aku berteriak sekencang mungkin. Jika memang demikian, mengapa dia tak pernah mengatakan semuanya padaku? Mengapa dia justru memilih untuk meninggalkanku?
Aku mendengar angin mendesah pelahan, hatiku kian sesak dan segalanya menjadi gelap…..

SELESAI


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar