Cinta Pertama (Part I)

By Sekar Setyaningrum - Oktober 30, 2015

Akan kuceritakan sebuah kisah pada kalian, ini tentang seseorang yang kusebut cinta pertamaku (Jika boleh kusebut demikian).

Kami tidak pernah pacaran. Ya. Mungkin dia adalah orang yang pertama kali aku sukai tapi dia bukan pacar pertamaku.

Aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu. Kami masih sangat muda waktu itu. Perkenalan kami bukanlah perkenalan yang tidak disengaja. Aku sudah lama penasaran dengannya. Anak lelaki yang namanya paling sering disebut karena tingkah dan polahnya yang kelewat bandel.

Karena penggabungan sekolah, akhirnya kami bisa satu kelas. Banyak siswa yang mulai resah karena kehadirannya. Dan, termasuk aku. Beberapa kali dia membuat siswi di kelas kami menangis karena keusilannya. Tak jarang dia menantang kami yang melawan untuk berkelahi. Dia tak pernah takut, tak pernah malu. Aku tak pernah tahu dari keluarga macam apa dia berasal. Yang kutahu, dia adalah siswa paling nakal yang pernah kukenal.

Aku lupa bagaimana pastinya kami menjadi sangat dekat. Meski tak jarang pula dia membuatku menangis dan terpaksa harus pulang telat.

Hariku berubah. Sejak hari itu, aku memiliki teman baru yang aneh selain boneka-boneka yang biasa kuajak bicara setiap hari. Kami memang aneh. Aku dan dia sangat aneh.

Dia banyak membuat gadis tomboy ini menjadi lebih periang (dan lebih cengeng). Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Sepulang sekolah, belajar kelompok, bahkan kami sering berburu ucen-ucen (buah yang mirip buah strowberi, hanya tumbuh di daerah pegunungan) bersama.
Banyak hal yang berubah, meski kami masih saja sering saling menjaili, saling mengusili, saling membuat satu sama lain merasa sebal. Tapi disitulah uniknya kami. Kami memang dua orang aneh yang berteman dengan cara yang aneh.

Dia banyak menceritakan kisah hidupnya denganku, dan baginya, aku selalu bisa menjadi pendengar dan penghibur yang sangat baik. Aku jarang menertawakannya saat wajah bandelnya berubah menjadi sangat serius. Dan jika itu terjadi, dia akan mencubit lenganku sampai biru. Lucu? atau menakutkan? Aku kadang takut padanya, namun dia tak pernah melakukan lebih. Dia malah selalu menjadi teman yang menjagaku, teman yang tak ingin melihat orang lain melukaiku (selain dirinya sendiri).

Dia bukan anak sekolah dasar yang beruntung, dia dibesarkan bukan oleh ayah dan ibu kandungnya. Ayahnya pergi bahkan sebelum dia sempat melihat wajah penuh kasih sayang sang ayah. Dan ibunya, memilih untuk mencari kehidupan ke kota orang. Dia bilang dia butuh perhatian, itulah sebabnya dia sering membuat onar di sekolah. Aku tahu, itu bukan hal yang mudah bagi anak seusia kami waktu itu.

Aku kira aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi setelah kelulusan. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain untuk kami. Kami melanjutkan ke sekolah menengah yang sama. Dan beruntungnya kami satu kelas (lagi).
Kami berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Menghabiskan es krim dan mendaki puncak bersama. Entahlah, kami hanya merasa nyaman satu sama lain.

Hubungan kami tak pernah lebih dari itu. Kami saling menyukai tapi kami tak ingin mengikat kebebasan kami dengan berpacaran. Aku tahu siapa pacarnya, kami juga sering berbagi cerita. Meski kami tahu, ada perasaan lebih yang kami jaga di lubuk hati masing-masing. Kami saling menyukai.

Bagiku, mencintai seseorang bukan hal yang wajar di usia kami saat itu. Kami masih terlalu muda untuk memiliki perasaan itu, dan aku benar, kami memang masih tetlalu muda untuk patah hati.

Tiga tahun kami menghabiskan waktu bersama. Kata orang kami sepasang sahabat yang unik. Aku yang tomboy tapi sering dibuatnya menangis dan dia yang bandel tapi tak pernah gengsi menangis saat berbagi cerita denganku. Atau, kami yang sering berkelahi tapi tetap saling menyukai.

Lucu kan?

Kami bisa menjadi mahluk paling bandel di sekolah, kami juga bisa menjadi orang yang sangat peduli satu sama lain. Dan satu lagi, dia adalah sahabat yang curang. Aku tak pernah melarangnya berpacaran dengan siapapun tapi dia selalu cemburu saat aku dekat dengan seseorang. Jika sudah begitu, dia akan menjadi mahluk paling menyebalkan bagiku. Dia tak akan segan-segan merusak buku catatanku atau mencuri buku PRku. Well, dia jadi monster seketika.

((Bersambung))

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar