Kata Sebuah Napas

By Sekar Setyaningrum - Januari 24, 2015


Kilau matanya meneduhkan. Jemarinya yang lentik memainkan kelopak mawar merah dalam genggamanya. Ada seulas senyum tersungging di bibirnya.
Entah mengapa gadis itu begitu istimewa. Beberapa hari terakhir namanya menjadi nama yang paling sering disebut oleh semua dokter spesialis di rumah sakit ini. Bukan karna parasnya yang anggun, juga bukan karena dia satu dari sekian banyak penulis hebat di negeri ini. Dia Laura, gadis pengidap penyakit paling langka di dunia. Neuromuskular, begitu kami para praktisi kesehatan menyebutnya. Penyakit yang mulai membatasi aktivitas Laura. Semua tulisanya terbengkalai. Studinya tertunda. Semua mimpi-mimpi Laura begitu saja terbang ke udara.
Sore itu. Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit tempat Laura dirawat. Aku tak menemukanya.
Seorang gadis dengan selang infus di tangan menari dalam diam bersama hujan. Titik gerimis satu persatu basahi wajah pucatnya. Tidak lama lagi Laura akan kehilangan segala kemampuanya. Menari, menulis, menghitung bahkan mungkin semua memorinya.

''Kemarilah, dokter.'' Seperti merasakan kehadiranku, Laura mengajaku bergabung denganya.

''Bagaimana kamu melakukan ini semua, Laura?''
Seharusnya tak perlu aku bertanya. Lagi-lagi senyuman meneduhkan yang dia persembahkan.

"Terimakasih, dokter. Bahkan suatu saat ketika aku tak lagi mampu berkata-kata. Nafasku terus mengucapkanya padamu."

Aku seperti ikut merasakanya. Setiap hembusan nafas yang kini menjadi jauh sangat berharga baginya. Laura yang malang.
Aku menggenggam erat jemarinya. Perubahan terjadi setiap hari. Awalnya kehilangan kemampuan menggerakan tangan dan kakinya, kemudian beberapa memori mengabur, juga satu hal yang sudah pasti, Laura kehilangan kemampuanya berbicara.
Laura kehilangan segalanya sebelum dia sempat membalas kalimat cinta yang ku ungkap padanya. Ini bukan hanya kasih seorang dokter kepada pasienya. Aku benar-benar mengaguminya. Mengagumi setiap senyum dalam tegar tatap matanya. Aku tahu sebenarnya diapun lelah. Dia ingin segera kembali.
Tetes bening kristal mengalir dari sudut mataku. Aku mengenal Laura setahun terakhir. Saat pihak rumah sakit menunjuku sebagai dokter pribadi Laura. Menangani penyakit langka yang di idapnya. Dan aku mulai menyukainya.
Sudah lama Laura menyadari perasaan apa yang kumilikii untuknya. Namun baginya, dia hanya bayangan maya. Aku takan mungkin bisa menggenggamnya. Dialah mawar berduri dalam hidupku. Baginya menaruh rasa untuk seseorang yang tak mungkin digenggam sama halnya dengan membiarkan orang lain mengorek luka di hati kita sendiri.
Tak ada yang lebih berharga baginya saat ini. Kecuali cinta yang bisa dia hembuskan dalam berat tarikan nafasnya.
Biru di kulit pucatnya semakin tak bisa ditutupi. Butiran bening air mata Laura membuat lebam luka dalam hatiku.
Laura tak lagi bersuara, tak lagi mampu bercerita ataupun menggoreskan penanya menjadi sebuah tulisan yang digandrungi para pembacanya.
Sorot matanya tak lagi tajam, namun tetap meneduhkan.
Aku tahu Laura sedang berkata-kata dalam heningnya. Menceritakan kisah pilunya pada dunia. Atau bahkan mungkin dia tak pernah lagi bercerita kepada siapapun?
Aku memandang wajah sayunya di antara temaram cahaya rembulan. Kecantikan sesungguhnya yang dia pancarkan.

“Apakah kau mulai lelah, Laura? Kau boleh berhenti sekarang jika kau sudah lelah. Kau tak perlu khawatir. Benda jahat dalam tubuhmu takan pernah mengikutimu.”

Aku merasa wajahku basah tersiram luka. Nafasku kian memburu, hatiku menyerukan nama gadis yang kini memejamkan mata dalam dekapanku. Aku tak ingin melihat ini lebih lama lagi.

“Pergilah, Sayang. Jemput mimpi indahmu.” Aku memejamkan mata lebih dalam lagi. Laura menatapku, bening matanya berkaca-kaca.

“Aku mencintaimu.”

Laura memejamkan matanya. Dua embun jatuh dari ujung mata indahnya.
Dia mawarku. Dia peri cintaku. Cinta pertamaku. Laura.

Laura telah meninggalkan ceritanya sendiri. Aku menuliskan setiap bagian dari kisahnya dalam buku pertamaku. Menggerakan jemariku di atas tuts keyboard menuruti kata hatiku.
Jemariku bergetar menirukan kegemaran Laura menghitung kelopak mawar yang tersisa pada tangkainya setiap hari. Seperti menantikan sesuatu yang sudah pasti.
Aku mengenangnya lewat mawar merah yang setiap hari ku beli. Mengajaknya bercerita setiap hari.
Masih sama seperti hari kemarin. Saat dia masih ada bersamaku. Saat hangat senyum dan hembusan nafas masih bisa kudengar, kan ku biarkan namanya bersemayam dalam hati.
Dialah jeda tanpa titik. Dialah awal tanpa akhir.

#KataSebuahNapas @KampusFiksi

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar