­
­

Pagi dan Senja

By Sekar Setyaningrum - Januari 17, 2016

Suatu hari kau akan tau kenapa dia yang pernah mencintai senja dan pagi dengan begitu hebatnya kini jalani hidupnya dalam ketakutan akan keduanya.
***
Baginya,
Senja selalu saja menjadi indah bagi penikmatnya. Entah pendar mega penuh warna, atau mendung yang menggantikannya.
Pagi juga selalu menjanjikan rasa baru bagi kehidupan. Tak peduli mentari bersinar terang atau justru kilat  yang datang menyambar.
Seperti dia yang selalu ingin menjadi keduanya. Ia ingin setegar keduanya.
Ia ingin menjadi senja, tetap dinanti penikmatnya tak peduli apa warna yang mungkin dipersembahkan.
Ia ingin menjadi embun di sepenggal pagi, yang datang untuk menyejukan dan kemudian rela hilang untuk esok datang kembali dengan janji yang sama.
Namun ia tak mampu jadi keduanya. Warnanya tak seindah senja, matanya mendung menyimpan gulana. Hatinya juga tak lagi semurni embun. Ia tak lagi mampu kembali setelah diusir pergi.
Dan di hari itu, ia terduduk di patah yang kesekian. Lidahnya kelu serukan rasa yang mulai layu. Hatinya remuk redam, perih tak terkira.
Ia tak bisa menjadi keduanya. Ia tak pernah layak menatap senja di mata kekasihnya.
Ia kira ia akan mampu bertahan. Ia kira janji kehidupan dengan lantang menyerukan kemenangan atas namanya. Namun takdir tak kuasa berpihak padanya. Pada hati yang kini kembali hancur sehancur-hancurnya.
Dia menuliskan bait indah untuk kekasihnya, Ia tuangkan kalimat indah untuk cintanya. Adalah dia yang hancur dalam tulus dan murni rasanya.
Kini ia terduduk di senyapnya dunia. Berharap bahagia datang menyapa. Sejenak saja obati pedih luka hatinya. Namun yang dia temui justru bayang yang lelah ia kenang. Bayang yang tajam bagai sebilah pedang. Bayang yang kian meluluh lantakan perasaan.
Ia menangis tanpa ingin didengar, ia tergugu tanpa ingin satupun tahu bait-bait pilu. Ia serukan dengan lantang rasa sakitnya dalam hati, dalam kesenyapan yang hanya mampu ia pahami sendiri.
Debarnya adalah sesal yang tak mampu ia dustakan. Air matanya adalah bisunya teriakan. Dan gemetar tubuhnya adalah bukti betapa berat beban yang kini harus ia pertanggungjawabkan.
Bagi semua orang ia tetap mencintai senja dan pagi sama dalamnya. Tapi baginya, pagi dan senja adalah ketakutan.
Pagi adalah bertambahnya masa dan senja adalah janji untuk sakit yang sama.
Jika kelak engkau berjumpa dengannya. Tak perlu engkau tanyakan kenapa. Kau tak perlu bertanya apa-apa. Kau tak tau betapa hebatnya rasa mengubah dunia seseorang. Kau tak akan mengerti sebelum kehidupan mengujimu dengan cara yang sama.
Kelak, kau akan tahu. Dia tak pernah diam, karena bibirnya tak henti mengamitkan sebuah nama. Sebuah nama yang telah merenggut kesucian cintanya. Sebuah nama yang membuatnya tak lagi percaya akan hangatnya sapa sang pagi, dan indahnya  langit kala senja. Hatinya tak pernah melepas rasa itu sedetikpun dalam hidupnya.
Hanya saja, karena patahnya, ia memilih bisu sebagai bahasa. Dan sendiri sebagai pilihannya.
Jadi, tak usah kau berdebat dengannya. Karena ia akan menampik segala hal indah tentang cinta. Kecuali jika kau mampu janjikan mega sebagai warna senja setiap masanya, atau embun yang tak akan hilang meski mentari hadir menantang. Silakan.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar