Menjadi yang Kau Cintai
Kau bilang : Aku masih terus mencintaimu, aku tak punya sebab untuk bisa berhenti mencintaimu.
Menjadi yang selalu dicintaimu kadang justru mengulik kembali luka itu. Luka yang tak benar-benar kau buat, namun dengan sangat jelas bisa kurasa. Aku tak menyangka jika luka itu mampu membuatku dengan tegas menolakmu untuk kembali meski rasa itu jelas masih kusimpan dalam hati. Namamu jelas masih dengan apik kusimpan di salah satu sudut ruang hati. Kau pernah bilang padaku, kau ingin menjadi satu dari deretan nama yang kusimpan sebagai ‘sahabat baik’ namun kau menjadi sangat naïf. Aku tidak menyukai caramu mengaturku, caramu mencemburui setiap teman lelakiku. Kau ingat? Hubungan kita tak lebih dari itu. Kau tak bisa terus menerus mendikte nama-nama orang yang bisa menjadi temanku dan tidak-
Kau bertanya : Jika benar aku masih menyimpan namamu, lalu mengapa aku enggan kembali bersamamu?
Kurasa, tanpa perlu kau bertanya, kau sudah tau pasti apa jawabannya. Bukankan alasan itu juga yang membuat hubungan kita berakhir dulu? Baiklah. Jika kau belum puas dengan jawabanku, maka, ijinkan aku mengajukan satu pertanyaan untukmu. Mengapa dulu kau mengakhiri hubungan kita dengan alasan itu jika pada akhirnya kau memintaku kembali dalam pelukmu? Bukankah dulu kau bilang bahwa alasan ini akan terus dan selalu menjadi biang masalah jika kita tetap bersama? Karena itulah kita memang tak seharusnya bersama.
Kau bilang : Karena alasan itu, bukan berarti aku tak lagi mencintaimu. Aku tidak pernah mengakhiri hubungan kita. Aku hanya butuh waktu untuk bisa menerima alasan-alasan itu. Untuk bisa menerimamu.
Ya. Tapi karena alasan itulah aku memutuskan berhenti untuk menunggumu, untuk berhenti mencintaimu. Aku tak mungkin menunggu seseorang yang mencintaiku tetapi di saat bersamaan juga memiliki banyak alasan untuk membenciku. Kau menyukaiku tanpa kupaksa, aku juga tak pernah mengatur perjumpaan kita. Jika kau ingin berjuang bersamaku, aku siap menerima setiap kurangmu namun jika kau ingin pergi karena kurangku, maka akupun tak mengapa. Silakan. Kau bisa memilih jalanmu.
Bukankah memang hanya ada dua kemungkinan dari hubungan yang kita ciptakan? Pertama, kita mungkin akan saling bergenggaman tangan dan saling menerima kekurangan atau kita akan memilih jalan yang berbeda untuk kemudian saling mendoakan. Kau memilih berada diantaranya, sedangkan aku memilih yang kedua.
Setiap orang pasti berbeda, dan aku pergi di saat kau mulai bisa menerima perbedaan-perbedaan kita.
Aku tidak pernah pergi. Aku masih di sini. Hanya saja, kau bukan lagi kekasihku. Aku masih di sini dan kau yang menjauhiku. kau memutuskan untuk menjauh dariku dalam arti yang sebenarnya. Kau pergi, tak bisa dihubungi, kau bahkan melarang teman-temanmu memberi informasi apapun tentangmu kepadaku. Apakah aku salah? Aku tahu. Namun aku enggan melangkah lebih jauh. Toh aku tahu, apapun yang sedang aku perjuangkan pada saat itu akan sia-sia. Aku tak akan pernah bisa menemukanmu. Atau jika aku bisa menemukanmu, aku tak akan bisa menemukan kesamaan yang mampu menepis dinding besar untuk kita bersatu.
Kau tak pernah benar-benar ingin bersamaku. Itu yang ku tahu. Yang kau liat dariku hanya kurangku, tak lebih dari itu. Aku selalu salah di matamu. Aku selalu kurang baik bagimu.
Kau : Aku sungguh menyesal telah melepaskan genggaman tanganmu.
Jika kau memilihku waktu itu. Maka, mugkin kau akan menyesali keputusanmu untuk bersamaku saat ini.
Kau Berkata : Aku tak bisa menggantimu dengan yang lain meski sudah berkali kucoba.
Bukan tidak bisa, hanya belum bisa. Kau hanya perlu menyingkirkan satu persatu obsesimu padaku. Lalu enyahkan setiap rasa bersalahmu terhadapku. Aku tak pernah menyalahkanmu. Aku selalu percaya bahwa apa-apa yang telah ditakdirkan untuk kita adalah yang terbaik. Jika aku telah menemukan seseorang yang bisa mencintaiku tanpa syarat saat ini, aku yakin kaupun kelak akan menemukan orang seperti itu. percayalah bahwa “Skenario yang kita buat tak pernah bisa lebih indah dari skenario terbaikNYa”
0 komentar