Ketidakmampuanku,

By Sekar Setyaningrum - Agustus 15, 2016

Ah, malam ini ada hal yang sebenarnya sangat menggangguku. Ini tentang pengakuan atas ketidakmampuanku mengatakan segalanya langsung kepadamu.

Sehari setelah kepergianmu, memori kala itu tiba-tiba bertubi muncul dalam alam kenangku. Tentangmu, tentang penyesalanku, tentang rasa sakit yang menghujam relung hatiku.

Tenang saja, aku tidak sedang bercerita, ataupun mengajakmu bernostalgia. Meski blog ini berisi tak lebih dari untaian kata tentang rima penuh nostalgia.

Tenang saja, aku tak sedang menunggumu kembali seperti yang kulakukan saat itu.

Tenang saja, aku tak akan memakimu atau menyalahkanmu lagi atas apa yang sudah pernah terjadi.

Ini hanya sebuah pengakuan. Aku berharap, aku bisa melanjutkan hidupku dengan tenang setelah tulisan ini kau baca dengan penilaian yang berbeda atasku.

Asal kau tahu, aku tidak sedang merayu pria beristri sepertimu. Jika kau mau, kau bisa membaca ini dengan istrimu. Karena pada akhirnya, aku telah memilih cerita untuk hidupku sendiri. Sepertimu.

Abang, terima kasih untuk waktu-waktu indah yang pernah kau rajut dalam hidupku. Ah, malunya aku jika kuingat daftar tuntutan ego dan ambisiku.
Terima kasih untuk memperlakukanku dengan begitu lembut meski sikapku membuatnu mual, kesal, dan malu.
Terima kasih untuk pernah dengan keras berusaha mencintaiku.
Terima kasih untuk memahamiku bahkan atas sikap terburukku kepadamu.
Terima kasih atas semua yang kau lalukan untuk gadis manja dan cengeng ini.
Dan terima kasih telah membuatku mendewasa.

Aku salah jika aku berfikir kehilanganmu membuatku kehilangan kepercayaan dengan lelaki lain. Karena pada akhirnya, aku justru lebih bisa menghargai sebuah hubungan. Aku berhasil mengalahkan ego dan melanjutkan hidupku dengan sangat baik.

Aku menyesal. Menyesal bahwa mengapa aku sangat terlambat mendewasa dan mengerti jika semua itu salahku. Menyesal karena pada akhirnya aku hanya bisa menyampaikan keresahanku lewat tulisan ini. Menyesal kenapa aku menjadi seorang pengecut untuk bisa meminta maaf secara langsung kepadamu.

Ingin sekali aku menemuimu, jika tidak untuk kalimat sepanjang ini, setidaknya hanya untuk berucap maaf dan terima kasih.

Abang,

Aku pernah memakimu dengan sangat kasar? Maafkan aku. Aku sungguh menyesal.

Aku pernah menyalahkanmu seolah kau tak berperasaan?
Maafkan aku. Aku tahu, justru akulah mahluk tak berperasaan itu.

Aku pernah begitu egois ingin memilikimu?
Maafkan aku. Aku baru menyadari bahwa bahkan napas ini bukanlah milikku sendiri.

Aku pernah ingin sekali menemuimu untuk meminta maaf namun urung karna kau memutuskan untuk menikah waktu itu?
Maafkan aku atas sikap pengecutku hingga tulisan ini muncul mengejutkanmu.

Semoga kau sudi membacanya hingga akhir bagian tulisan ini untuk kemudian tersenyum dan berkata dalam hati

"Ah, gadis kecil ini mendewasa juga pada akhirnya"

Apakah kau tersenyum membaca ini?

Salam hangat dariku untuk wanita yang kini menemanimu. Berharap, suatu saat kita bisa mencairkan situasi beku yang belum juga mencair meski musim terus berlalu.

Sekali lagi, maaf untuk kenaifanku. Dan terima kasih untuk memahamiku dengan begitu dewasa.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar