Mengingatnya

By Sekar Setyaningrum - April 08, 2016

It's been a long day without you my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
Oh I'll tell you all about it when I see you again

Lagi-lagi lagunya Wiz Khalifa featuring Charlie Puth yang See You Again membawaku ke dalam satu memori tentangnya.....

.... Karena aku menuliskan ini ketika lagu itu mengalun. Aku selalu berharap bisa berjumpa kembali dengannya, suatu saat nanti, di tempat yang jauh lebih indah, kemudian melepas setiap rindu yang membuat gelisah.

Teruntuk sahabatku, Rezty. Kau sangat tahu bagaimana cerita ini bermula dan apa yang akan kutulis di akhir cerita. Aku tak ingin kau membacanya jika lagi-lagi cerita ini harus membuatmu menyeka basah di ujung mata. Aku tak akan menceritakan tentangmu di sini. Karena kita adalah pemilik cerita yang sebenarnya. Karena kita adalah awal yang tak pernah memiliki akhir.

Cerita bermula,

Aku mengenalnya delapan tahun yang lalu. Kamar kos kami berdekatan. Kami yang sama-sama pendiam tak banyak membuat percakapan. Hanya beberapa pertanyaan dan jawaban standard yang mengawali perkenalan. Sebagai siswi pindahan, aku tak memiliki satupun teman di kota kecil ini. Aku menghabiskan hari-hari pertamaku dengan mengurung diri di kamar kos dan belajar demi mengejar pelajaran yang tertinggal.

Kami sering jalan berdua saat berangkat dan pulang dari sekolah. Tapi seperti biasa, tak ada percakapan yang tercipta. Hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jika aku memutar kembali memori kami saat itu, aku tak pernah mengira jika kami bisa sedekat ini pada akhirnya.

Sore itu, untuk pertama kali dia mengetuk pintu kamarku. Dia membawakanku sop ayam hangat buatannya, dia memintaku mencicipinya. Itulah awal kedekatan kami. Sejak hari itu, dia sering menemaniku, mengenalkanku dengan teman-temannya, juga dengan malu-malu mengenalkanku dengan kekasihnya. Meski bisa dikatakan jika kami masih jarang bicara banyak satu sama lain, namun itulah awal dari kisah manis ini bermula.

Aku tak berharap kalian juga akan memberi predikat manis pada cerita ini. Karena aku lebih sering tersenyum getir saat menuliskan perjalanan ini. Beberapa kali aku menyeka ujung mata yang basah saat aku lagi-lagi mengingat akhir yang harus kutuliskan. Dan aku tak yakin bisa menuliskan ini hingga akhir.

Kami mulai berani percaya. Kami saling berbagi cerita. Hingga saat kenaikan kelas tiba, aku bisa berada di kelas yang sama dengannya (juga denganmu, Rez)

Hal yang paling kuingat jelas adalah jika mereka berdua adalah teman pertama yang menggenggam tanganku saat lagi-lagi aku harus menyesuaikan diri di kelas yang baru. Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Membuatku bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan suasana dan karakter baru yang kutemui.

Kami selalu jalan berdampingan. Saling menguatkan juga saling mengingatkan. Banyak hal yang kami bagi bersama, dari hal kecil hingga hal yang paling pribadi sekalipun. Kami meletakkan kepercayaan di atas segalanya. Kami terus saling menjaga.

Kata orang, kami adalah pribadi yang unik. Kami memiliki karakter yang saling melengkapi. Perbedaan telah membuat kami bersama. Sayang sekali, aku tak banyak menyimpan foto sebagai prasasti kebersamaan kami.

Kalian yang hanya sekedar mengenal kami tapi tak tahu jelas siapa kami, asal kalian tahu,

Jika ada tiga siswi dengan hobi duduk di tangga depan perpustakaan, itu adalah kami.

Jika kalian tahu tiga siswi yang lebih suka duduk di kantin saat jam olahraga itu juga adalah kami.

Namun, jika kalian adalah juga termasuk sahabat kami, tentulah kalian paham betul soal ini. Kalian adalah saksi dari kisah manis ini.

Seperti yang kalian tahu, menyatukan tiga pemikiran yang berbeda bukanlah pekerjaan mudah. Kadang meraju saat salah satu menjaili, kadang marah saat harap dan pendapat tak sesuai dengan keinginan hati. Namun itulah kami. Tak ada waktu untuk saling meraju. Tak ada waktu untuk membiarkan ego menguasai. Kami akan meminta maaf kemudia menertawai keegoisan diri kami sendiri.

Witing tresno jalaran soko kulino

Aku percaya pepatah lama ini. Aku mencintainya, aku mencintai mereka, aku mencintai persahabatan kami.

Namun lagi-lagi aku harus menyadari. Jika tak ada satupun yang abadi, begitupun juga cerita ini. Seerat apapun kami saling menggenggam, kami tetap harus saling melepaskan. Entah berpisan untuk satu mimpi, atau pergi untuk ruang yang lebih abadi.

Tiga tahun yang kami habiskan bersama bukanlah cerita yang begitu saja bisa kami lupakan. Memasak bahkan makan bersama, tidur dan mendengarkan saluran radio favorit bersama, olahraga hingga belanja bersama.

Tiga tahun berlalu,

Kami bahagia karena pada akhirnya kami akan segera menemukan akhir dari perjuangan kami tiga tahun terakhir.

Kami lebih banyak lagi menghabiskan waktu bersama. Kami tidur dalam satu ranjang yang sama, memasak, makan, bahkan mencari informasi pekerjaan bersama.

Namun,

Hari itu, tepat setelah ujian akhir selesai dilaksanakan dia bertanya banyak hal kepadaku. Apakah aku menyayanginya? Apakah aku takut kehilangan momen indah persahabatan kami? Apakah aku akan merindukannya suatu saat jika kami tak lagi bersama? Aku bilang, tentu saja aku akan merindukannya.

Kemudian dia berkata dengan begitu lirih, air mata menggenang di ujung manik hitamnya.

"Jika aku bisa menawar dan diberi pilihan oleh Tuhan, maka aku akan memilih untuk tetap bersama kalian. Tapi jika salah satu dari kita harus pergi, maka aku memilih pergi lebih dulu. Aku takut sekali kehilangan kalian"

Aku tak mengerti dengan arah pembicaraannya. Kami hanya berbatas jarak. Kami masih bisa bertemu kembali. Namun dia terus menggelengkan kepala setiap kali kukatakan itu padanya.

Hingga sebulan kemudian aku mengerti maksud dari kalimatnya itu. Kabar yang kuterima pagi itu sungguh membuat remuk redam hatiku.

Dia telah pergi. Pergi untuk tak lagi kembali. Dia pergi untuk yang lebih abadi. Dia pergi untuk selamanya.

Hari itu sehari sebelum kami merayakan pesta kemenangan kita. Hari itu tepat sehari sebelum predikat kelulusan kami terima. Dan dia? Dia tak sempat merasakan buah dari setiap perjuangannya.

Aku tergugu di sudut bisu kamarku. Aku bahkan tak bisa melihatnya untuk terakhir kali. Aku menyesal sekali.

Bagiku kini, perjumpaan adalah sebuah hutang. Hutang yang bila waktunya tiba harus kubayar lunas dengan pedihnya kehilangan. Dan hari itu, aku merasakan sebenar-benarnya kehilangan. Sepedih-pedihnya ditinggalkan.

Aku merindukannya setiap hari, bahkan hingga detik ini.

Listy, sahabatku, temanku, saudaraku, kau abadi dalam hati dan tulisanku. Semoga Tuhan memberimu tempat terindah di sisiNya.

So let the light guide your way 
Hold every memory as you go 
And every road you take 
will always lead you home



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar