Untuk yang Kusebut Alasan

By Sekar Setyaningrum - Februari 04, 2016

Ayah, Ibu, hari ini aku akan menulis sesuatu untukmu, untuk kalian.

Suatu saat ketika kalian membaca tulisan ini, kalian pasti akan mengerti, mengapa tulisan menjadi pilihanku. Kalian selalu mengerti jika mengungkapkan perasaan secara langsung bukan keahlianku.

Kalian juga akan bertanya kenapa aku jarang sekali menulis tentang kalian di sini. Kalian harus tahu, setiap kali aku menulis sesuatu tentang kalian, hal yang paling ingin aku lakukan adalah memeluk kalian. Aku rasakan buncah rasa tak tertahankan. Aku ingin pulang.

Terlepas dari pendiamnya aku, tertutupnya aku, kalian selalu menjadi alasan mengapa hingga hari ini aku mempercayai sebuah kata bernama cinta. Aku ada karena cinta, aku tumbuh dan besar dengan cinta dan jika aku masih berdiri dengan begitu yakinnya di sini saat ini, itu juga karena cinta. Aku mencintai kalian lebih dari kata yang sanggup ku eja.

Kalian mencintaiku jauh sebelum aku mengenal kata itu, jauh sebelum kalian melihatku.

Kata orang, dulu ketika aku masih kecil, kalian selalu memanjakanku. Ayah membelikan aku apapun yang aku perlukan tak peduli sesulit apa hidup kalian. Dan ibu, ibu tak akan pernah membiarkan siapapun melukaiku. Siapapun.

Kalian selalu mengajari aku menjadi gadis yang tangguh. Kalian tak memberikan semua itu dengan cuma-cuma. Ada harga yang harus kubayar untuk apa yang ku dapatkan. Dan hari ini aku mengerti. Kehidupan membuatku paham.

Aku telah mendengar semuanya, Ayah, Ibu. Begitu banyak bahagia yang kalian gores di sepanjang kehidupanku. Itulah alasan kenapa aku selalu menangis ketika mendapati fotoku tak sedang bersama kalian. Itulah alasan kenapa hingga detik ini tak akan kubiarkan siapapun melukai kalian. Itu alasanku.

Kini putri kalian sudah dewasa. Sejauh yang kuingat, kalian tak pernah memintaku menjadi seperti yang kalian mau. Kalian selalu memberikan ruang tak terbatas untukku memilih jalan hidupku. Aku berterima kasih untuk tetap menggenggamku dengan kepercayaan.

Maka, mulai hari ini, bagilah setiap beban dan kepedihan kalian. Aku masih di sini untuk menguatkan. Aku di sini untuk mendengarkan. Aku di sini untuk kalian.

Ibu,

Kau selalu bilang, aku tak perlu berpura-pura lagi ketika di depanmu. Aku boleh menangis, mengadu atau memelukmu sebanyak yang ku mau. Namun aku pernah berjanji pada diriku, Ibu. Aku tak akan pernah meratapi kepedihan di depanmu. Tak akan pernah.

Bukan karena aku tak ingin membaginya denganmu. Aku ingin menceritakannya ketika hatiku sudah benar-benar siap. Ketika tak akan kau lihat lagi kepedihan di mataku saat aku membaginya denganmu. Saat ini, cukuplah bahagiaku yang jadi pelipur laramu. Sebagai ganti setiap pengorbanan dan pengabdianmu.

Oh iya, Ibu. Kau tahu? Aku selalu mengingatmu saat seseorang mengatakan betapa ayu parasku. Aku selalu mengingatmu. Siapalah yang mewariskan wajah ini jika bukan dirimu? Kau akan selalu menjadi alasan dari setiap syukurku. Terima kasih ibu, untuk mata sendu yang kau lukis di wajahku.

Ibu,

Hari ini aku berkali-kali menyeka mataku yang basah saat berbicara di telepon denganmu. Kau menceritakan banyak hal. Aku sangat merindukanmu dan karena dirimulah aku mampu menuliskan semua perasaanku di sini.

Dan, Ayah,

Seperti yang selalu kau katakan, hidup tak menjadi lebih mudah setiap harinya. Tapi kau selalu memintaku untuk tetap menjadi penguat setiap langkahmu.

Kau ingat, beberapa hari yang lalu, saat aku membelikan sebuah jaket untukmu? Kau bilang, jaket itu tak lebih hangat dari pelukanku. Aku tahu, Ayah. Aku tahu jaket itu tak akan mampu mengganti hangat peluk dan kehadiranku. Tapi aku tetap memelukmu dari sini, dari jarak yang telah kita sepakati. Lewat do'a dan kalimat lembut pengantar lelap. Aku begitu dekat denganmu. Percayalah.

Kan ku genggam janji dalam patuhku akan petuahmu sebagai bukti cintaku, Ayah, Ibu.

Dan hari ini, ketika lagi-lagi problema kehidupan menghampiri kita. Kalian ingin aku menjadi alasan untuk setiap ketegaran. Kalian ingin aku terus menguatkan. Lihatlah, aku di sini dengan mantap siap menghadapi apapun yang ada di depan.

Aku hanya gadis biasa, terkadang aku juga lelah. Namun kalian adalah alasanku untuk tetap berdiri gagah. Kalian adalah alasanku untuk tidak pernah menyerah.

Kalian ajari aku untuk tidak membenci. Berkali-kali, lagi dan lagi kalian ulangi hingga pemahaman itu terpatri dalam hati. Tak peduli betapa pedih orang lain menyakiti, tak peduli luka berkali mereka tancap di dalam hati, tak pernah ada cukup waktu untuk saling membenci. Bukankah begitu?

Kini aku tahu hakikat dari kalimat itu, Ayah, Ibu. Aku tahu betapa dahsyat kalimat yang tak pernah bosan kalian ucapkan itu.

Aku tak akan pernah membenci. Kalian bisa pegang janjiku ini.

Aku akan tetap tersenyum untuk kalian. Untuk setiap cemooh dan hinaan. Dan jika hari ini kalian lihat putri kalian begitu mengagumkan, itu karena kalian masih tetap jadi alasan. Alasanku untuk tetap kuat menghadapi jalan yang kian terjal.

Ayah, Ibu. Aku juga akan terus memaafkan. Memaafkan mereka yang menyakitiku, mereka yang menghinaku, mereka yang menghianatiku, juga mereka yang membenciku. Tak apa. Sudah begitu banyak kejadian menyakitkan yang membuatku paham akan hakikat memaafkan. Tak ada lagi yang perlu kalian khawatirkan. Percayalah padaku. Hari ini aku sudah belajar banyak hal.

Terima kasih untuk mengajariku banyak hal. Terima kasih untuk membuatku melihat begitu banyak keajaiban. Terima kasih untuk membuatku percaya lagi. Terima kasih untuk bukti nyata ketulusan cinta. Terima kasih untuk segalanya.

Ayah, Ibu. Aku jatuh cinta padamu. Lagi dan lagi.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar